Banyak yang masih ingat dengan namanya, namun hanya segelintir yang tahu siapa sebenarnya sosok TD. Pardede. Bahkan mereka yang mengaku orang Batak yang lahir, tumbuh, besar, dan tinggal di Sumatra Utara pun bisa tidak tahu. Jika pun tahu, hanya sekilas dan permukaannya saja. Bukankah semua tahu bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawanannya?! Bukankah bangsa yang beradab adalah bangsa yang tidak pernah mematikan dan menghilangkan sejarahnya?!
TD. Pardede bukanlah hanya sekedar seorang pengusaha yang kaya raya, bukan juga hanya sekedar tokoh dalam dunia sepak bola. Berapa banyak yang tahu bahwa beliau pernah menjabat sebagai Menteri Berdikari pada era Soekarno?! Bukan hanya satu dua saja medali penghormatan dan penghargaan yang pernah beliau terima. Ada 20!!! Beliau pernah dipenjara oleh penjajah karena beliaulah yang mampu mensuplai perbekalan bagi tentara Indonesia. Pengekspor udang pertama kali dari Indonesia, pendiri jaringan hotel internasional pertama, pemberani yang menempelkan label “made in Indonesia” pertama untuk produk selimutnya, penerima gelar Honoris Causa pertama dari Jepang, mendirikan perumahan, sekolah, sarana ibadah dan olahraga, rumah sakit gratis semuanya untuk karyawan, dan masih banyak lagi.
Beliau adalah adalah salah satu orang yang mampu menaikkan harga diri dan kehormatan bangsa ini, memajukan pendidikan, dan yang paling utama adalah, sosok yang menjadi pelopor bagi banyak bidang, dan benar-benar penuh ketulusan di dalam mengabdikan diri bagi bangsa dan negaranya tercinta. Sangat taat beragama tapi sangat toleran dan selalu siap membantu tanpa pamrih. TD. Pardede adalah seorang sosok pemimpin yang telah memberikan banyak sekali, bukan hanya bagi orang Batak dan Sumatra Utara, namun bagi Indonesia.
Saya tersenyum pahit sekali saat ada yang bertanya, mengapa baru sekarang saya mengangkat TD. Pardede kembali ke permukaan. Justru itu menjadi pertanyaan yang seharusnya ditanyakan kepada diri sendiri dan semua. Kenapa sebelumnya, tidak ada yang melakukannya? Terlepas dari konflik keluarga yang selama ini jauh lebih dikenal oleh masyarakat umum, mengapa yang jauh lebih penting dan berarti bagi masa depan dan kehidupan bangsa ini tidak diprioritaskan?!
Saya seorang perempuan yang sebelumnya tidak pernah menyentuh Sumatra Utara meski bermarga Lubis. Saya lahir dan besar, bahkan sekarang pun tinggal di Bandung. Jangankan berbahasa Batak, satu kata pun saya tidak mengerti sama sekali. Menjadi sebuah tehuran bagi diri saya sendiri saat saya mulai melakukan riset tentang TD. Pardede. Ke mana saja saya selama ini?! Bodohnya! Susah-susah mencari sosok yang dapat menjadi panutan bangsa, ternyata, sosok tersebut sudah ada sejak lama dan terbukti.
Rasa penyesalan itu ada, apalagi setelah mendengarkan cerita dari Kak Indri, anak bungsu beliau, juga anak-anak beliau yang lain, para tokoh, para karyawan, kerabat, dan orang-orang yang tahu tentang beliau. Sungguh saya sangat kecil dan tidak beradab, saya seharusnya berterima kasih kepada beliau atas semua yang telah diberikannya. Bukan harta dan kekayaan, tetapi pola pikir, pemikiran, dan dedikasi serta sumbangsihnya bagi bangsa dan negara ini. Saya memang bukan anak kandung beliau, tapi saya adalah anak bangsa yang turut merasakan apa yamg sudah beliau berikan. Sudah sepantasnya saya menghormati beliau, dan buku Ayahku Inspirasiku pun saya tulis. Bukan sebagai buku biografi, tetapi berisi surat teruntuk sosok ayah bangsa Indonesia tercinta, TD. Pardede.
Bukanlah tanpa tujuan jika saya sekarang ini berusaha menghidupkan kembali sosok TD. Pardede dan ingin mengajukan beliau menjadi seorang Pahlawan Nasional. Saya sedih karena untuk sosok yang besar pun kita tidak mau menghormati dan menghargainya. Data dan arsip tentang beliau pun hilang dan lenyap begitu saja. Sengaja tidak sengaja, diakui tidak diakui, fakta sejarah tidak akan pernah bisa berubah. Waktu memang banyak melahirkan sosok-sosok generasi baru, sayangnya waktu tidak menyimpan informasi untuk menjadi inspirasi bagi generasi baru. Bila tidak dimulai sekarang, mau sampai kapan kita menyadarinya? Kapan kita menjadi bangsa yang besar dan beradab?
Semua ini bukan untuk saya ataupun bagi keluarga TD. Pardede tetapi bagi semua. Marilah kita sama-sama belajar untuk memiliki jiwa yang besar, dan merendahkan hati untuk belajar. Semua kembali pada diri sendiri, adakah keinginan dan kemauan kita untuk menjadi besar dan beradab?! Jika TD. Pardede di masa lalu bisa, kenapa sekarang kita tidak bisa?!
Salam hangat penuh cinta,
Mariska Lubis
5 Februari 2012